Oleh:Usfiey Marfu'ah
Dari berbagai polemik yang muncul atau bahkan yang dimunculkan
di permukaan publik FKM-MD, kesemuanya itu dapat dipahami sebagai trigger-off (pemantik) akar masalah. Di balik wacana
itulah sesungguhnya realitas kemajemukan, pluralitas dan heterogenitas
kepentingan (politik) berbagai individu atau kelompok kepentingan terbaca,
bahkan terlihat sangat jelas.
Gelombang dinamika kekuatan politik, baik sayap kanan ataupun sayap kiri juga jelas. Kelompok yang masih mempertahankan keutuhan FKM-MD juga Nampak nyata, semua ini terbaca dari pemetaan terhadap respon, yang saya sebut sebagai, para tokoh (senior, pengurus dan kader atau anggota) di FKM-MD. Sikap tokoh terhadap kewacanaan tersebut terbagi menjadi 3 varian; dominan (pro/setuju), negosiasi (kritis) dan oposisi atau menolak. Mungkin juga analisis kesimpulan ini terlalu berlebihan, setidaknya ini hanya melalui kaca mata pandang saya saja. Tokoh yang dominan, yakni sebagian besar mereka yang merasa setuju akan keberadaan FKM-MD, sikap ini didasari pada doktrin ajaran yang telah menganggap FKM-MD sebagai bentuk organisasi final, hal ini bisa terbaca dari intonasi ataupun gaya bahasa serta argumentasi yang dikeluarkan sebagai bentuk pertahanan diri (organisasi) dari fakta lain yang berusaha dimunculkan oleh tokoh oposisi. Terlihat muncul beberapa wilayah MD yang mewakili kelompok ini, namun ada juga yang memilih sebagai kelompok negosiasi atau kritis, akan tetapi kritis di sini saya sebut sebagai kritis yang pasif, karena mereka memunculkan dengan sikap menarik diri dari lingkaran perdebatan dan hanya berada di belakang layar saja. Kepasifan ini saya duga karena mengamati kemudian mengatur tempo dan waktu yang tepat untuk memunculkan gagasan sebagai bentuk kemutakhiran dan jawaban, sekaligus sebagai mediator antara kedua belah tokoh yang terlibat aktif dalam berdebatan atau dialog, yakni tokoh yang dominan atau pro, serta tokoh yang oposisi atau menolak. Atau mungkin kepasifan itu justru sebagai langkah jalan aman untuk diri masing-masing, bisa jadi karena sikap apatisme yang ingin ditunjukkan, bahkan mungkin jadi karena ketidaktahuan, yang terakhir ini yang sungguh ironi.
Gelombang dinamika kekuatan politik, baik sayap kanan ataupun sayap kiri juga jelas. Kelompok yang masih mempertahankan keutuhan FKM-MD juga Nampak nyata, semua ini terbaca dari pemetaan terhadap respon, yang saya sebut sebagai, para tokoh (senior, pengurus dan kader atau anggota) di FKM-MD. Sikap tokoh terhadap kewacanaan tersebut terbagi menjadi 3 varian; dominan (pro/setuju), negosiasi (kritis) dan oposisi atau menolak. Mungkin juga analisis kesimpulan ini terlalu berlebihan, setidaknya ini hanya melalui kaca mata pandang saya saja. Tokoh yang dominan, yakni sebagian besar mereka yang merasa setuju akan keberadaan FKM-MD, sikap ini didasari pada doktrin ajaran yang telah menganggap FKM-MD sebagai bentuk organisasi final, hal ini bisa terbaca dari intonasi ataupun gaya bahasa serta argumentasi yang dikeluarkan sebagai bentuk pertahanan diri (organisasi) dari fakta lain yang berusaha dimunculkan oleh tokoh oposisi. Terlihat muncul beberapa wilayah MD yang mewakili kelompok ini, namun ada juga yang memilih sebagai kelompok negosiasi atau kritis, akan tetapi kritis di sini saya sebut sebagai kritis yang pasif, karena mereka memunculkan dengan sikap menarik diri dari lingkaran perdebatan dan hanya berada di belakang layar saja. Kepasifan ini saya duga karena mengamati kemudian mengatur tempo dan waktu yang tepat untuk memunculkan gagasan sebagai bentuk kemutakhiran dan jawaban, sekaligus sebagai mediator antara kedua belah tokoh yang terlibat aktif dalam berdebatan atau dialog, yakni tokoh yang dominan atau pro, serta tokoh yang oposisi atau menolak. Atau mungkin kepasifan itu justru sebagai langkah jalan aman untuk diri masing-masing, bisa jadi karena sikap apatisme yang ingin ditunjukkan, bahkan mungkin jadi karena ketidaktahuan, yang terakhir ini yang sungguh ironi.
Kemudian yang terakhir yakni tokoh oposisi atau menolak, hal ini
juga tak kalah menariknya dengan tokoh pertama dan kedua, karena dari kelompok
inilah muncul konflik-konflik laten yang terpendam atau sempat ter-redam untuk
muncul ke permukaan. Dari tokoh ketiga ini pula masalah yang selama ini belum
mendapatkan uraian jawaban dapat terangkat, terdiskusikan, termobilisasi dengan
baik, sehingga dengan manajemen dan penanganan yang baik, tak ayal jika
penyelesaian akan muncul.
Tokoh ini yang saya namakan sebagai tokoh yang kukuh akan
dibubarkannya FKM-MD, orang-orang tergabung dalam tokoh ini yang mengantongi
berbagai macam bukti dan fakta akan kekurangan dan kelemahan yang ada di tubuh
FKM-MD, sehingga mereka menyimpulkan dengan kesimpulan sudut pandangnya bahwa
FKM-MD kurang lebih seperti wujuduhu ka adamihi.
Inilah budaya dialog yang akan terus kita kembangkan di FKM-MD, sebuah
budaya dialog yang harapan saya selalu memiliki sifat Qabul al-akhar (sikap menerima yang lain). Peraih Simon
Bolivar Priza, Dr. Milad Hanna menegaskan bahwa budaya budaya Qabul al-akhar dimulai dari saling memahami dan membuka
diri, nantinya jalan menuju Qabul al-akhar (the otherness) akan terbuka sendiri. Jika kita telah
memiliki budayaqabul al-akhar, kita kan dianugerahi hubb al-akhar (mencintai yang lain).
Memang, sudah menjadi hal dasar apabila setiap dialog seperti
yang terjadi di FKM-MD beberapa minggu terakhir ini mutlak melahirkan sikap
terbuka dan menerima, tetapi jika setelah dialog semakin mempertebal sikap
fanatic dan curiga, dialog ini adalah dialog yang gagal dan mandul.
Terlepas dari pendapat pro, negosiasi bahkan oposisi atau
menolak FKM-MD, inilah proses pembelajaran bagi generasi MD yang sesungguhnya,
seperti yang kita ketahui, tak semua konflik adalah negative, tergantung kita
yang menentukan sikap untuk menjadikan momen ini sebagai peringatan untuk
bersungguh-sungguh dalam menjalankan tujuan bersama di FKM-MD.
Sekian....
0 komentar:
Posting Komentar
Alangkah Baiknya anda meninggalkan komentar setelah membaca postingan ini