Akademik OK, Organisasi Yes[1]

Sisi lain mahasiswa mempunyai label ”agent social of change”
yang juga tak kalah pentingnya dilakukan. Kondisi ini masuk pada ranah
kedudukan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan predikat ini
sudah mengakar pada masyarakat umum bahwa mahasiswa merupakan garda
terdepan dalam menatap perubahan masa depan bangsa.
Masyarakat
memandang mahasiswa itu bisa segalah-galahnya, baik dalam persoalan
keilmuan maupun dalam urusan sosial. Dengan demikian ketika mahasiswa
menjadi sarjana, mereka harus mampu merespon sekian persolan sosial yang
terjadi di sekitar lingkungannya.
Sementara,
pada tataran tanggung jawab akademik mahasiswa dihadapkan pada
kehidupan masa depan mereka. Selesai kuliah, bekerja atau menambah
daftar pengguran terdidik? Artinya, pada wilayah ini mahasiswa
bersentuhan yang namanya dunia kerja. Bicara dunia kerja terkait dengan
kemampuan akademik dan IPK.
Bagi mahasiswa yang memiliki kesadaran sosial (social awareness), paradigma yang dibangun adalah selain belajar juga diimbangi (balance)
dengan kegiatan sosial, dengan harapan mereka dapat melaksanakan label
yang selama ini dimiliki mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan sosial.
Pada konteks ini mahasiswa dihadapkan problem benturan aturan akademik
yang mengekang kreativitas mahasiswa.
Dari dua dimensi tanggung jawab itulah, kemudian melahirkan beberapa tipikal mahasiswa. Pertama, Mahasiswa akademik ansich. Mahasiswa model ini biasanya rajin ke kampus. Ada yang menyebutnya mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang), mahasiswa segi tiga K (Kuliah, Kantin, dan Kos). Datang tepat waktu, semua tugas dikerjakan, catatan lengkap, dan manut
pada dosen. biasanya diakhir semester menjadi incaran banyak mahasiswa
untuk sekedar memfotokopi bahan kuliah dan dijadikan mitra menjawab soal
UAS. Mahasiswa berkarakter tadi masih termasuk mahasiswa tipe pertama
yang sering disebut mahasiswa anak dosen, karena tipe mahasiswa seperti itu biasanya diambil menjadi asdos, selesai melanjutkan akademik, kemudian menjadi dosen.
Masih
dalam tipe pertama, mahasiswa model ini cendrung terjebak pada ranah
formalitas dan menganggap bahwa ruang kuliah (baca : dosen) merupakan
medium satu-satunya sumber ilmu. Kehidupan di kampus sebatas ajang
bergaul dengan teman-teman satu kelas, karena tidak mengikuti kegiatan
apapun di kampus, kecuali kuliah. Mind-set yang dibangun pun bersifat datar (pada umumnya), yaitu IPK coumlade, kuliah tepat waktu, lulus jadi PNS misalnya.
Padahal,
kehidupan setelah kuliah tidak semudah dibayangkan. Fakta mengatakan,
seringkali mahasiswa tipe pertama ini gagap ketika berhadapan pada
persoalan nyata yang terjadi di masyarakat. Padahal mahasiswa mempunyai
tanggung jawab sosial, selesai kuliah diharapkan bisa membangun desanya,
pada level lebih besar membangun provinsi, agama dan negaranya.
Begitupun dalam dunia kerja, ketika ia gagal dalam persaingan sesuai
jurusannya, otomatis menjadi pengangguran terbuka, karena tidak
mempunyai skill yang lain (monotonous capability).
Kecendrungan negatif adalah gengsi bekerja kalau itu bukan bidangnya, lebih baik nganggur dari pada menahan malu. Hal itu terjadi, karena paradigma yang terbentuk adalah pada orientasi (orientation) bukan kesadaran (awareness).
Kesadaran dalam artian, mampu membaca peluang, kuliah tidak semata
jalan mencari pekerjaan, memberikan kontribusi pada masyarakat (social responsebility), bekerja apapun (entrepreneur) yang penting bermanfaat dan positif.
Kedua, Mahasiswa aktivis.
Tipekal mahasiswa ini memiliki kesadaran sosial bahwa label mahasiswa
tidak hanya mempunyai tugas akademik, tapi ada tugas sosial. Satu sisi
ada persoalan lain kesadaran yang dibangun kebablasan. Segudang
agenda kegiatannya dalam berorganisasi terkadang melupakan tugas
utamanya, yaitu kuliah. Bisa dikatakann ia tercarabut dari akar
akademiknya. Aktivis model inilah yang membedakan dengan aktivis
angkatan para founding fathers kita. Mereka aktvis, tapi tetap fokus dalam akademiknya.
Sebut
saja Bung Karno, ranah akademiknya melahirkan Insinyur Tehnik, Hatta
kemampuan dalam bidang ekonomi tidak bisa diragukan lagi, dan Syahrir
kapasitas dalam diplomasi, membuatnya sering mewakili Indonesia dalam
pertemuan Internasional. Mereka adalah orang-orang yang getol dalam
kegiatan sosial demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tapi tidak
meninggalkan dunia akademiknya.
Tidak
bermaksud mengatakan bahwa mahasiswa aktivis (sekarang) tidak mempunyai
kemampuan dalam keilmuan apapun. Akan tetapi mereka menganggap bahwa
ruang kuliah hanya mengekang kreativitas mahasiswa. Bagi mereka yang
lebih massif membangun ilmu pengetahuan dialam terbuka seperti baca
buku, diskusi, seminar, berorganisasi, bergaul dengan orang-orang
pintar, dll. Pemahaman ini Penulis rasakan selama berproses didunia
gerakan dan hasil dari dialektika dengan orang-oarang yang mempunyai
pilihan bahwa diluar ruang kuliah lebih mencerdaskan.
Adalah
realitas yang maklum mahasiswa model ini acapkali mendapat gelar MA
(mahasiswa abadi) sebelum lulus. Mahasiswa aktivis ini pada umumnya
bekerja tidak sesuai bidang kuliahnya, karena mereka banyak memiliki life skill. Rata-rata
orang seperti ini mudah mencari kerja, jelas mereka banyak jaringan,
mudah bergaul dan bisa beradaptasi dalam pekerjaan apapun.
Gagasan Mahasiswa Ideal
Bagi penulis gagasan keseimbangan (balance)
Akademik dan Ekstra suatu keniscayaan dan segerah direalisasikan.
Kenapa demikian? Alasannya sederhana, melihat data litbang kompas awal
2009 hampir satu juta pengangguran SI bertebaran di bumi Nusantara ini.
Kondisi ini bermuara dari konsep pendidikan hanya diukur dengan nilai
(ijazah, IPK, kecepatan lulus), tapi tidak dibarengi dengan soft skill
seperti kemampuan memimpin, bergaul, berdiplomasi, bekerjasama,
integritas, inisiatif dan bertanggung jawab. Semua itu tidak didapatkan
diruang kuliah.
Menurut survey National Association of Collegs and Employers (NACE)
pada tahun 2002 di USA dari hasil jajak pendapat pada 457 pengusaha,
bahwa IPK hanyalah nomor 17 dari 20 kualitas yang dianggap penting dari
seorang lulusan PT. Kualitas yang menduduki peringkat atas adalah
kemampuan soft skill. Pun disebutkan dalam buku The Millionaire Mind karya
Thomas stanley, disebutkan dari hasil jajak pendapat melibatkan 733
multimillionaire. Menyimpulkan faktor utama kesuksesan adalah jujur,
bergaul dengan baik, disiplin, memiliki pasangan yang mendukung, dan
giat bekerja.[2]
Selanjutnya, terbatasnya lapangan kerja merupakan salah satu faktor yang mendorong agar mahasiswa mempunyai berbagai kemampuan (multi disiplener).
Pertumbuhan angkatan kerja setiap tahun 2, 32 juta orang (Agustus 2008
hingga Agustus 2009), pengangguran terbuka per Agustus 2009 sudah 8. 96
juta orang. Pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi 2010 5,5 %,
sedangkan 1 % pertumbuhan mencipatakan 350.000 lapangan kerja. Andaikan
terealisasi 5, 5 X 350.00 = 1, 925 juta. Persoalannya untuk mencapai
angka pertumbuhan tersebut membutuhkan dana Rp. 2855 triliun, sedangkan
indonesia hanya mampu 13 % dari dana tersebut, sisanya dari swasta
domestik berupa investasi asing, pasar modal dan pinjaman asing (Kompas, 22/12).
Dari
beberapa paparan fakta dan data di atas, nampaknya dari berbagai
kalangan (mahasiswa, dosen, pihak birokrasi kampus dan pemerintah) tidak
punya alasan lagi untuk segerah mengimplementasikan diskursus
keseimbangan Akademik dan Ekstra. Dalam kerangka ini ada tipikal
mahasiswa ketiga, adalah mahasiswa aktivis yang akademis. Pada tipe ini mahasiswa memiliki kesadaran akademik (academic awareness) sekaligus kesadaran sosial. Atau kata lain tipe ketiga ini hasil dari antitesis antara mahasiswa akademik ansich dan
mahasiswa aktivis. Mahasiswa ini menganggap kuliah juga harus
diselesaikan. Tipe mahasiswa ini memiliki kelebihan dintara tipe
mahasiswa pertama dan kedua. Basic keilmuan yang dibangun tidak sebatas diruang kuliah saja.
Tipe ini adalah format mahasiswa ideal–keseimbangan
intra dan ekstra atau akademik dan organisasi–yang sangat relevan dan
dibutuhkan dalam membangun Bangsa Inodonesia kedepan. Oleh karena itu
masih tergolong sulit menemukan mahasiswa tipikal seperti ini. Meminjam
bahasanya Andreas Harefa, tipikal mahasiswa
ini disebut mahasiswa pembelajar. Seorang mahasiswa yang terus-menerus
belajar, baik dalam meraih prestasi akademik juga dengan belajar
membangun kepekaan sosial (sensitivity of social) lewat aktivitas organisasi baik di dalam dan atau pun luar kampus.
Ada
anggapan menyesatkan bahwa organisasi itu mengganggu kuliah. Jika ada
dosen yang berkata demikian, dipastikan orangnya tidak pernah berproses
didunia oraganisasi. Saya pikir tergantung individu masing-masing,
persolannya bukan karena organisasi, tapi faktor pelakunya. Pengalaman
penulis pernah mengikuti lima organisasi dikampus dan luar kampus dalam
waktu yang bersamaan memegang tanggung jawab tiga organisasi, ternyata
bisa menyeimbangkan kuliah dan organisasi. Jadi tidak ada alasan bahwa
organisasi mengganggu kuliah.
Sebenarnya
tidaklah begitu sulit menjadi mahasiswa aktivis-akademis. Hanya
dibutuhkan manajemen waktu yang disiplin dan tahan banting dalam
menghadapi tantangan hidup. Menjadi mahasiswa yang akademik dan memiliki
segudang kegiatan tidak merugikan masa depan kita. Dalam pandangan ilmu
kesehatan bahwa otak yang terbiasa banyak agenda kegiatan dan sering
merasakan stres, loncatan suksesnya lebih besar. Dari pada orang yang
hanya mempunyai kebiasaan kuliah-kos, maka otaknya akan terbatas hanya
sampai diruang itu-itu saja.
Mencari Solusi.
Dari ketiga kategori mahasiswa di atas, masih ada tipe mahasiswa yang tidak mau peduli sama sekali, masuk pada tipe keempat, atau sering disebut mahasiswa masa bodoh.
Baik tidak peduli dengan tanggung jawab akademiknya maupun tanggung
sosialnya terhadap lingkungan di sekitarnya. Mahasiswa tipikal ini
biasanya mempunyai kecendrungan hidup hedonis, semau gue, tidak
peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Intinya hidup mengalir
apa adanya, hingga akademik pun tidak punya targetan yang muluk-muluk.
Dalam
konteks UIN, tipe ini sedikit demi sedikit sudah mulai berkembang.
Demikian, karena desain kampus yang nyentrik, makin mahalnya biaya
pendidikan menyebabkan yang kuliah di UIN tidak hanya orang-orang
menengah ke bawah, UIN di dikelilingi dua mall raksasa, dan kemajuan IT
seperti Facebook, Email, Chat, Friendster, dll. Realitas ini harus
dicegah sebelum terlambat.
Dengan demikian, sebenarnya ada dual hal yang perlu dicari jalan keluar oleh pihak birokrasi. Pertama, bagaimana
membuat kebijakan berpihak pada mahasiswa, artinya tidak membunuh
kreativitas mahasiswa, berikan kemerdekaan berkreasi, sehingga
melahirkan insan akademik yang bertanggung jawab, integritas tinggi dan
mampu melahirkan pemimpin yang siap mengisi kemajuan masa depan Bangsa
Indonesia. Kedua, Pihak birokrasi dan mahasiswa agar
menghindari tipe mahasiswa yang masa bodoh. Karena kalau dibiarkan
budaya ini lakasana virus yang akan merambat dengan mahasiswa lain. Pada
problem ini, perlawanan yang kita ciptakan sama dengan melawan hidden agenda arus globalisasi, yaitu menciptakan manusia yang serba instan dan hedonis.
[1]
Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi Launching Majalah Suara
Kalijaga dengan Tema “Polemik Keseimbangan Intra dan Ekstra”, Sabtu 26
Desember 2009, di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Pedoman Pengembangan mahasiswa Menjadi Pembalajar Yang Sukses: Strategi Kunci Pengembangan Jati Diri dan Sukses Study (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga, 2009), hal. 60-61.