AKAD-AKAD
PEMBIAYAAN DALAM SISTEM PERBANKAN SYARIAH
Hal-hal tentang akad-akad pembiayaan dalam sistem perbankan syariah. fenomena yang berkembang saat ini menunjukkan makin berkembangnya pertumbuhan sistem keuangan dan perbankan syariah di tanah air secara khusus dan di dunia secara umum. Hal ini disebabkan karena sistem keuangan syariah salah satu diantara yang mampu bertahan dalam krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi saat ini. Di satu sisi hal ini merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan dan patut mendapatkan apresiasi, namun di sisi lain perlu adanya peningkatan pemahaman dari seluruh masyarakat tentang informasi yang lengkap mengenai produk pembiayaan berdasarkan akad-akad syariah, sehingga masyarakat menyadari betul manfaat dan keunggulannya dibanding dengan sistem konvensional. Dengan kesadaran yang muncul dari pemahaman ini diharapkan mampu menghantarkan mereka menjadi konsumen/nasabah yang loyal terhadap produk-produk syariah.
Sobat, diantara akad-akad pembiayaan syariah yang populer dewasa ini dalam sistem perbankan kita terbagi berdasarkan beberapa kriteria, yaitu:
• Berdasarkan prinsip titipan atau sinpanan (Depository)
• Berdasarkan prinsip bagi hasil (Profit sharing)
• Berdasarkan Prinsip Jual-Beli (Sale and Purchase)
• Berdasarkan Prinsip Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
• Berdasarkan Prinsip Jasa (Fee-Based Services)
A.
Prinsip Titipan atau Simpanan (Depository)
AL-WADI’AH
• Pengertian: Wadi’ah merupakan simpanan
(deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan
keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang
kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil
pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tsb dan
yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
• Landasan Syari’ah:
1. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisaa: 58).
2. Abu Hurairah meriwayatkan bhw Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim).
3. Ijma para ulama terhadap legitimasi al-wadi’ah krn kebutuhan manusia thd hal itu sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatiha.
• Landasan Syari’ah:
1. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisaa: 58).
2. Abu Hurairah meriwayatkan bhw Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim).
3. Ijma para ulama terhadap legitimasi al-wadi’ah krn kebutuhan manusia thd hal itu sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatiha.
B.
Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing)
1.
AL-MUSYARAKAH (PARTNERSHIP, PROJECT FINANCING PARTICIPATION)
• Pengertian: Al-Musyarakah adalah akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
• Landasan Syariah:
1. “…maka mereka berserikat pada sepertiga…” (QS. An-Nisa: 12)
2. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
3. Ijma para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
• Jenis-jenis al-Musyarakah:
1. Syirkah al-‘Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan.Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
2. Syirkah Mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
3. Syirkah A’mal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua orang arsitek utk menggarap sebuah proyek atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-Musyarakah ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau sanaa’i.
4. Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tsb secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tsb. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
• Landasan Syariah:
1. “…maka mereka berserikat pada sepertiga…” (QS. An-Nisa: 12)
2. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim)
3. Ijma para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
• Jenis-jenis al-Musyarakah:
1. Syirkah al-‘Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan.Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
2. Syirkah Mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
3. Syirkah A’mal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua orang arsitek utk menggarap sebuah proyek atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-Musyarakah ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau sanaa’i.
4. Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tsb secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tsb. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
2.
AL-MUDHARABAH (TRUST FINANCING, TRUST INVESTMENT)
• Pengertian: Mudharabah berasal dari kata dharb
yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih
tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si
pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
• Landasan
Syariah:
1. “…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT…” (QS. Al-Muzammil: 20).
2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
3. Ijma para Sahabat sebagaimana dikutip oleh Imam Zaila’i, beliau menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.
1. “…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT…” (QS. Al-Muzammil: 20).
2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
3. Ijma para Sahabat sebagaimana dikutip oleh Imam Zaila’i, beliau menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.
• Jenis-jenis
al-Mudharabah:
a. Mudharabah Muthlaqah: adalah bentuk kerjasama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah: adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
a. Mudharabah Muthlaqah: adalah bentuk kerjasama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah: adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
3. AL-MUZARA’AH
(HARVEST-YIELD PROFIT SHARING)
• Pengertian: Al-Muzara’ah adalah kerjasama
pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (presentase) hasil panen. Al-Muzara’ah
seringkali diidentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit
perbedaan sebagai berikut. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan, sedangkan
mukhabarah: benih dari penggarap.
• Landasan Syariah:
1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
2. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jbir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3 , 1/4:3/4 , 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya”
3. Ijma. Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu ja’far: “Tidak ada satu rumahpun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdil Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”.
• Landasan Syariah:
1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
2. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jbir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3 , 1/4:3/4 , 1/2:1/2, maka Rasulullah pun bersabda: “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya”
3. Ijma. Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu ja’far: “Tidak ada satu rumahpun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdil Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”.
4. AL-MUSAQAH
(PLANTATION MANAGEMENT FEE BASED ON CERTAIN PORTION OF YIELD)
• Pengertian: Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih
sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah
tertentu dari hasil panen.
• Landasan Syariah:
1. Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
2. Ijma. Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atasdasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma sukuti dari umat.
• Landasan Syariah:
1. Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
2. Ijma. Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atasdasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma sukuti dari umat.
By: Erda 107 SiKuBI "Semarang"