- MD, Strategi dan KompetensiOleh: Abu Laka
Berbicarakan jurusan manajemen dakwah (MD) adalah hal yang menarik untuk didiskusikan kembali. Selain tergolong jurusan termuda di tataran fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan ini juga mempunyai standar ganda dari segi pengertian dan kompetensi kurikulum. Jurusan termuda tidak menjadi kendala dalam pengembangan kedepan, justru akan menjadi motivasi tersendiri bahwa kita harus lebih unggul dari jurusan-jurusan yang sudah ada sebelumnya.
Dilihat dari sisi pengertian (harfiah), ketika orang mendengar atau membaca manajemen dakwah, tentunya pemahaman yang muncul adalah bahwa MD mencetak para da’i handal. Namun, kompetensi MD yang dirumuskan oleh institusi diantaranya: Manaje dan administrator (pondok pesantren, panti asuhan, lembaga zakat, lembaga dakwah, dll), Departeman agama, peneliti, pekerja sosial dan peneliti.
Dilihat dari wilayah kemampuan akademik, MD dapat dipahami bahwa jurusan ini menekan pada wilayah praksis (manajerial) bukan secara teoritis (keilmuan). Itu artinya, MD lebih dituntut untuk mencetak para alumni mempunyai jiwa kepemimpinan yang dipersiapkan untuk mengelolah lembaga-lembaga terkait. Sedangkan untuk memperoleh karakter kepemimpinan tidak hanya didapatkan di runag formal (bangku kuliah), tapi lebih banyak di ruang non formal (luar kelas).
Dari analisa di atas, penulis dapat memetakan struktur berfikir mahasiswa MD, agar kemudian out-put mahasiswa sesuai kompetensi yang telah ditentukan. Pada hakikatnya ada dua ruang yang harus dijalani dan dikuasai. Pertama, ruang akademik. Akademik berada di ruang formal, terlahir dari hasil konsensus dalam lembaga terkait, yang didalamnya terdiri dari kelompok berbeda organisasi, suku, ras, agama dan ideologi. Dengan demikian, dari sekian keputusan yang dilahirkan tidak akan luput dari kepentingan golongan masing-masing. Akademik akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan tentunya sesuai dengan kompetensi jurusan.
Selanjutnya, dari kesepakatan-kesepakatan telah melahirkan regulasi untuk mengatur hiruk-pikuk kehidupan belajar-mengajar dunia kampus. Semua itu tergabung yang sering kita sebut sistem. Sistem menciptakan sekat-sekat birokrasi yang biasanya berdampak pada pengkerdilan kreativitas mahasiswa (organisasi). Pertanyaan kemudian, jika ruang proses pembelajaran kita diberangus oleh birokrasi, lantas kemana kita akan belajar membentuk pendidikan karakter (budaya organisasi)? Dalam sistem (unversitas/ jurusan) terdapat kurikulum, kompetensi, kode etik, dosen, dll. Semua instrumen tersebut harus sinergis, sehingga mengarah pada visi, misi, kompetensi lembaga terkait. Dari itu, mahasiswa yang mempunyai label agent of control mestinya memaksimalkan peran tersebut agar mengontrol sepenuhnya dari sekian aturan yang dilahirkan birokrasi. Ketahuilah, setiap aturan tidak lepas dari kepentingan, dan seharusnya kepentingan tersebut berpihak pada mahasiswa.
Kedua, ruang intelektualitas. Pada tataran ini sering kita sebut sebagai ruang non formal, yang biasanya kita dapatkan di luar bangku kuliah, misalnya dari hasil baca buku, seminar, diskusi, dan kekegiatan positif lainnya. Selanjutnya pada ruang ini akan membentuk pola pikir (mental, karaketer, budaya) mahasiswa yang nantinya mendukung pada kompetensi jurusan MD. Proses kesadaran ini biasanya kita dapat di ruang organisasi. Setiap organisasi mengajarkan nilai tanggung jawab, kejujuran, disiplin, mandiri, penggerak dan karakter lainnya yang mengarah pada jiwa kepemimpinan (manajerial). Manajerial sangat relevan dengan kompetensi MD. Dapat dipahami bahwa berproses di organisasi adalah keniscayaan yang tidak bisa dibantah bagi mahasiswa MD. Karena, jika mahasiswa tidak terjun dalam organisasi, sama saja ia tidak mengikuti kompetensi jurusan. Bicara organisasi, di kampus UIN banyak jumlah organisasi yang eksis dan menghasilkan mahasiswa yang mempunyai jiwa kepemimpinan.
Organisasi yang dimaksud bisa diluar kampus maupun di luar. Di kampus, misalnya ada organ skstra (PMII, HMI, KAMMI, IMM, FMN), intra kampus (BEM, Senat, UKM, BOM-F), aliansi (tingkat jurusan-universitas), kelompok diskusi, dll. Setiap organisasi tentunya mengajarkan untuk menumbuhkan jiwa kepemimpinan. Disinilah kita mendaptkan pembelajaran berharga yang tidak ada di bangku kuliah. Dari logika sederhana ini, menambah point (argument) bahwa organisasi itu wajib bagi mahasiswa MD.
Dunia Kerja.
Melihat persaingan kerja di Indonesia, ada beberapa fakta dapat kita analisis kemudian menjadi acuan untuk mengukur kompetensi out-put mahasiswa MD. Mari kita amati dan kita pahami, banyaknya terjadi pengangguran lulusan perguruan tinggi di Indonesia merupakan fenomena yang dapat digunakan untuk mengukur sistem pendidikan kita, seberapa jauh keberhasilan atau gagal sama sekali. Bayangkan saja, lulusan UGM, UNY, UIII, UI, UNSRI, UNPAD, dan UNAIR masih banyak memproduk pengangguran, apalagi mahasiswa UIN, Fakultas Dakwah, jurusan MD lagi, anda sudah bisa meyimpulkan sendiri!
Penulis tidak mencoba mengajak teman-teman untuk menjadi orang yang pesimis dan menyesali kuliah di MD. Sekali lagi, penulis tidak bermaksud demikian. Namun, yang ingin saya katakan adalah bahwa sistem pendidikan kita ada yang salah. Jika mahasiswa terjebak pada ruang akademik ansich, maka kita akan menjadi bagian dari korban sistem yang salah. Saya pikir mahasiswa lebih cerdas menganalisis persoalan ini. Benar bukan?
Memang pendidikan kita tujuan akhirnya adalah mencetak tenaga kerja. Semua mahasiswa dibentuk mental pekerja, berakibat tingginya persaingan kerja. Setelah kalah dalam persaingan kerja mahasiswa tidak siap bekerja selain bidang keilmuan jurusannya. Hal ini berbanding terbalik dengan gagasan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character, that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Gagasan ini ada relevansi dengan pembahasan diatas bahwa mahasiswa harus menguasai ruang intelektualitas, karena pada ruang ini terdapat proses pendidikan karakter.
Seiring hal di atas, sesungguhnya kesuksesan tidak bisa di ukur dengan nilai IPK dan cepat lulus. Bagi Joseb sinz, dalam bukunya emotional intelence and stuent success (2001), dikatakan bahwa keberhasilan seseorang bukan karena kecerdasan otak, tapi karena karakter. Saya pikir gagasan ideal beberapa tokoh di atas senada dengan kompetensi jurusan MD. Dos, dapat dipahami, jika anda merasa tersesat kuliah di MD, maka anda sedang tersesat di jalan yang benar.
Yogyakarta, 11 Oktber 2012
Ttd
Penulis
managerial
SDM (keilmuan)
sistem
kurikulum
SAP
Dosen
mahasiswa
Hard skill
Intelektualitas/ non formal managerial
Polah pikir (karakter, budaya, mental)
Organisasi
Ekstra (PMII, HMI, KAMMI, Aliansi, kelompok diskusi, dll)
Mahasiswa
Soft skill
Kurve kesuksesan
Joseb sinz, emotional intelence and stuent success (2001), keberhasilan, bukan karena kecerdasan otak, tapin karena karakter
[1] Disampaikan pada diskusi FokerMandala Jurusan Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis 11 Oktober 2012.
[2] Penulis adalah pernah belajar di jurusan Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga dan Direktur Mozaik Institute Yogyakarta