Selasa, 12 Februari 2013

"menggugat" metodologi dakwah

"Menggugat" metodologi dakwah

FAKULTAS Dakwah IAIN Ar-Raniry yang didirikan 23 Oktober 1968 oleh Prof Ali Hasjmy, hari ini genap berusia 44 tahun. Fakultas Dakwah pertama di dunia yang lahir dari rahim IAIN Ar-Raniry ini, dalam usia sematang itu patut dipertanyakan kontribusi apa yang telah diberikannya kepada umat, khususnya bagi Aceh dan masyarakat bangsa secara menyeluruh.



Apakah cita-cita sang penggagas Prof Ali Hasjmy dalam melahirkan Fakultas Dakwah pertama di bawah perguruan tinggi Islam ini --yang kemudian diikuti oleh perguruan tinggi Islam lainnya di Indonesia--sudah berhasil menjadi fakultas sebagaimana yang dicita-citakan oleh pendirinya, yaitu menjadikan ilmu dakwah sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang berdiri sendiri, tidak bercampur-aduk dengan cabang ilmu lainnya?

Dalam hal ini, kita patut mengenang sang tokoh Ali Hasjmy, seorang pemikir yang melihat jauh ke depan bagaimana pentingnya ilmu dakwah dalam pengembangan peradaban umat manusia. Mungkin sebagian yang dicita-citakan oleh pendiri Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniryi ini sudah dapat diwujudkan.

Boleh bangga
Fakultas Dakwah boleh bangga, dengan banyaknya alumni yang berhasil menjadi wartawan profesional di Aceh, sebagai “da’i” yang mendakwahkan persoalan sosial umat melalui tulisan-tulisan pemberitaannya. Tapi di sisi lain, Fakultas Dakwah masih tergolong gagal mengemban cita-cita pencetus fakultasnya dalam mengembangkan ilmu dakwah sebagai suatu displin ilmu secara metodelogis.

Kegagalan tersebut dapat dilihat, terutama di Aceh masih benyaknya kasus-kasus sosial keagamaan yang terjadi akibat dari kesalahan metoda pendakwahan yang disampaikan kepada umat. Seharusnya, Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry dapat berada di grada paling depan terhadap sukses tidaknya pendakwahan pemberlakuan Syariat Islam di Aceh.

Sejauh ini belum ada satu metoda dakwah bagaimana menghadirkan Syariat Islam di Aceh sebagai suatu penyadaran umat. Yang terjadi justru sebaliknya, dalam banyak kasus Polisi Syariat sering bertindak di luar misi dakwah yang tidak menyenangkan, sehingga kehadiran syariat Islam di tengah masyarakat menjadi sebuah kontroversi akibat dari belum terkontribusinya ilmu dakwah secara motedologi dalam membekali para petugas pengawal syariat Islam di Aceh.

Saya kira, ini adalah kado yang harus segera dibuka ketika Fakultas Dakwah memperingati hari jadinya yang ke-44 tahun ini. Kado yang kita maksudkan tidak lain, yaitu bagaimana sebuah lembaga pendidikan Islam yang bernama Fakultas Dakwah ini, berintrospeksi terhadap peran yang telah dimainkan bagi penyiaran misi-misi keagamaan Islam kepada umat.

Hal ini sesuai konsentrasi empat jurusan yang menjadi misi kontribusi Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, yaitu jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, jurusan Manajemen Dakwah, dan jurusan Pengembangan Masyarakat Islam.

Keempat jurusan tersebut, dilihat dari perspektif dakwah mungkin tidak ada yang kurang. Hanya saja barangkali yang harus dilihat ulang adalah silabus (kurikulum) tiap jurusan yang mesti diperkaya dengan metodelogi yang dapat membuat mahasiswa lebih kritis dalam melihat persoalan keislaman dan sosial budaya masyarakat yang terus berubah dan berkembang.

Teknologi informasi
Terlebih di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Dengan pesatnya teknologi informasi sekarang sebenarnya orang lebih mudah berdakwah terhadap sesuatu misi yang didakwahkan. Ketimbang dakwah di masa-masa menggunakan media tradisional. Seperti mimbar Jumat, dan sanggar-sanggar seni budaya masyarakat yang pernah tumbuh dan berkembang sebagai media paling efektif pada masanya dalam menyampaikan misi-misi keagamaan Islam kepada masyarakat.

Dalam konteks Aceh, jika ditelusuri lebih dalam, jauh sebelum lahirnya Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, hampir semua jenis seni budaya yang berkembang di Aceh adalah sebagai sarana media dakwah. Dan itu adalah satu metoda pendakwahan paling efektif pada zamannya. Pertanyaan hari ini, masih efektifkah jika media-media dakwah tradisional itu dipertahankan dalam era globalisasai ilmu pengetahuan dan teknologi ini?

Jawaban atas pertanyaan itu, lagi-lagi sebuah kado ulang tahun ke-44 bagi Fakultas Dakwah sebagai tantangan yang mesti harus dijawab secara akademis. Jawaban ini termasuk bagaimana menyikapi munculnya dakwah-dakwah yang beraliran menyebabkan keresahan umat yang semakin bermunculan, tak terkecuali di Aceh.

Tantangan lain adalah bagaimana menyelaraskah antara dakwah Bil-lisan dengan dakwah bil-hal. Selama ini dakwah bil-lisan (dakwah dengan kalam) lebih dominan berperan dibandingkan dakwah bil-hal (dakwah yang mencerminkan sikap dan tingkah laku). Makanya, dalam hal ini banyak sekali orang berdakwah, tapi apa yang didakwahkan sering tidak mencerminkan tingkah lakunya. Bagaimana kita mengajak umat ke jalan yang lurus, sementara kita sendiri menempuh jalan berbelok dan berlumpur.

Oleh karenanya, pada ultah ke-44 Fakultas Dakwah tahun ini, banyak hal yang harus dibenahi kembali, agar ke depan lembaga pendidikan tingggi Islam ini dapat lebih eksis di tengah umat. Untuk itu secara akademik Fakultas Dakwah dalam pengembangannya harus memiliki pakar ilmu dakwah yang menguasai metodologi dakwah yang dapat menjadi referensi bagi masyarakat luas. Tidak seperti selama ini, sulit bagi kita menentukan siapa pakar yang bisa bersuara secara disiplin keilmuan terhadap kasus-kasus keagamaan jika dilihat dalam perspektif ilmu dakwah.

Pakar-pakar dakwah
Semestinya, dalam usia yang sudah hampir setengah abad, Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry sudah harus memiliki pakar dakwah lingkungan hidup, pakar dakwah sosio-cultural keagamaan, dan pakar-pakar disiplin ilmu lainnya yang berhubungan dengan ilmu dakwah. Ini memang tidak dalam serta-merta dapat diwujudkan. Karena ilmu dakwah sendiri belum sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suatu disiplin. Ilmu dakwah masih dianggap sebagai bagian dari ilmu-ilmu keagamaan Islamnya.

Sama halnya dengan ilmu sastra dan sejarah, sebelum ilmu sejarah memisahkan diri sebagai suatu disiplin ilmu yang sah dari sastra pada pertengahan abad 18, ilmu sejarah ini adalah bagian dari ilmu sastra. Maka ketika ilmu sejarah memisahkan diri dari kesusastraan pada abad 18 muncullah metodologi sejarah yang kemudian dikenal dengan disiplin ilmu sejarah kritis. Artinya, ilmu sejarah ini tidak lagi bercampur-aduk dengan cerita-cerita kesusastraan seperti penulisan-penulisan sejarah model lama.

Jadi kalau Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry mengklaim diri sebagai Fakultas Dakwah pertama di dunia, maka kado terakhir untuk Fakultas Dakwah di hari ulang tahun ke-44 ini adalah bagaimana pakar-pakar ilmu dakwah di IAIN Ar-Raniry dapat memelopori ilmu dakwah ini menjadi satu disiplin ilmu yang sah dengan metodologi tersendiri. Dirgahayu Fakultas Dakwah!

by: Drs. Nab Bahany As, Budayawan/Alumnus Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, tinggal di Banda Aceh
via Pipir Romadi on fb